Rabu, 23 Februari 2011

Pura Batukaru

Info By: Agus Sukma




Kekuatan Gaib Mpu Kuturan di Batur

Mpu Kuturan adalah seorang maharsi yang serba bisa. Selain mahir di dalam bidang arsitektur, kemasyarakatan, Mpu
Kuturan juga adalah ahli dalam bidang keagamaan. Dan Pura Batur merupakan salah satu karya adiluhung pendiri
tonggak sejarah Hindu di Bali.

Pura Batukaru terletak di Desa Wangaya Gede, Penebel, Kabupaten Tabanan, tepatnya di bongkol Gunung Batukaru
yang sudah tidak asing lagi bagi kalangan krama Bali. Lebih-lebih Pura Batukaru merupakan salah satu pura Sad
Kahyangan yang terletak di sebelah Barat Pulau Bali ini, juga dikenal sebagai pengider bhuwana. Karena statusnya
sebagai Kahyangan Jagat, maka pura ini disungsung umat Hindu dimana pun di jagat raya ini. Jadi, bukan milik dari
krama Tabanan seperti yang terjadi sebelumnya, sehingga pura ini sampai saat ini masih belum dikenal oleh umat
secara umum. Karena letaknya di Barat Pulau Bali sebagai pengider bhuwana, dapat dipastikan pura ini tempat memuja
kebesaran Ida Sanghyang Widhi dalam manifestasinya sebagai Mahadewa.

Dalam lontar Kusuma Dewa disebutkan, Mpu Kuturan merupakan salah satu tokoh sentral berdirinya Pura Kahyangan
Jagat yang ada di Bali.
Begitu juga dengan berdirinya Pura Batukaru pun tidak bisa dilepaskan dari peran yang dimainkan Mpu Kuturan tersebut.

Disebutkan juga Mpu Kuturan sering melakukan penyempurnaan palinggih-palinggih (bangunan suci) yang sudah ada
sebelumnya. Ada dugaan pura atau kahyangan ini digunakan sebagai tempat melakukan yoga semadi oleh para pertapa, sebab ada sebuah bukti yang ditemukan yakni berupa sumber air dan berbagai jenis patung yang bernilai magis dan sakral. Dari sumber air yang ditemukan dapat diberikan bayangan, karena pada zaman dahulu seorang
pertapa dalam melaksanakan pelajarannya pada tingkat Wanaprasta lazim memilih tempat pegunungan yang ada mata airnya.

Kecuali itu ada kemungkinan tempat ini sering dipergunakan sebagai tempat persembahyangan atau semadhi. Ini juga dibuktikan dengan adanya beberapa buah bangunan yang erat kaitannya seperti Bale Tengkudak, pasek dansebagainya.

Mengenai Pura Batukaru ini dalam beberapa buah pustaka ada dicantumkan berbagai peristiwa yang ada hubunganya seperti Babad Pasek; dalam Babad Pasek dikisahkan mengenai turunnya beberapa Bathara dari Gunung Semeru (Jawa Timur) di Bali yang antara lain diuraikan, putra Bathara Pasupati dari Gunung Semeru di Pulau Bali yang dipuja adalah Bathara Putrajaya dan Gnijaya. Bathara Tumuwuh berparahyangan di Gunung Batukaru, Sanghyang Manik Gumamayang berparahyangan di Gunung Beratan, Sanghyang Manik Galang berparahyangan di Pejeng, dan Sanghyang Tugu di Andakasa.

Kemudian dalam Lontar Usana Bali; dikisahkan Mpu Kuturan juga dijuluki sebagai Mpu Rajakretha, karena beliau berkenan mendirikan pura atau parahyangan yang dibawa dari Majapahit (Jawa Timur) yang diterapkan di Bali seperti Bathara di Besakih, Bathara di Batumadeg, Bathara di Batu Manyeneng, Bathara di Pintuaji, Bathara di Kadaton,
Bathara di Tengah Mel, Bathara di Tulukbiyu, Bathara di Tampuryang, termasuk juga Bathara di Batukaru. Dalam bagian
lain disebutkan persembahan yang dibawa Rajakertha kepada Raja Bali tatkala bertahtanya Baginda Raja Masula-Masuli pada waktu pemerintahan di Pejeng. Ada persembahan arca (patung) yang menyebabkan bahagianya krama Bali setiap tanaman hidup subur, harga barang-barang murah, ketika itu adalah jaman Ciwa-Budha.

Diceritakan zaman pemerintahan Sri Tapaulung yang bergelar Sri Gajahwaktra atau Sri Gajahwahana yang dijuluki Sri Astha Sura Bhumi Banten memiliki kepedulian yang cukup tinggi terhadap parahyangan yang ada di wilayahnya. Itulah sebabnya ketika Sri Gajahwaktra berkuasa di Bali pengaturan terhadap tempat parahyangan tidak keliru.

Dikisahkan dalam suatu rapat khusus yang dihadiri beberapa mahapatih dari kerajaan, Sri Gajahwaktra berkenan mengangkat orang-orang kepercayaannya sebagai Mancabhumi. Semua ini diakibatkan kesetiaap Sang Sapta Sanak (Tujuh Saudara). Mereka yang diangkat di antaranya Kiai Agung Pangeran Tohjiwa, diberi kekuasaan di daerah sebelah
Barat Bukit Penyu, sebelah Timur diberikan kepada Bajing, dengan berkedudukan di Kjiwa, di Parahyangan Batur Saludiserahkan kepada I Gusti Agung Padang Subadra pengurus Pura Silayukti, Wira Sang Kulputih penyelenggara aci (upacara) di Pura Besakih, dan Gunung Agung, I Gusti Penataran untuk pengurus Pura Gelgel, Kyayi Agung
Smaranatha, menurut sekehendak beliau sesuai dengan keadaannya, ditugaskan mengawasi daerah Gelgel. Sementara I Gusti Agung Pasek Gelgel memerintah daerah Gelgel dan Nusa Penida dengan daerah sebelah Barat Batulahak sampai Takmung. Kyayi Bendesa Pasek Mas menguasai daerah desa Mas Taman Pule, Kyayi Agung Kubayan
menguasai wilayah Bayad sampai dengan Wangaya, dan menduduki jabatan Kubayan di Batukaru dan Penulisan Selisihan Taro.

Sedangkan dalam Babad Buleleng; menyebutkan, Panji Sakti pernah melakukan aksi pengerusakan pura dengan mengobrak-abrik bangunan, yang pada dasar mau menyerang musuh, tapi Panji Sakti berjalan menuju perbatasan Tabanan. Perjalanan ke Tabanan ini dimaksudkan supaya bisa melakukan peperangan, tapi tidak ada respon sehingga yang dipakai pancing untuk peperangan adalah dengan mengadakan perusakan Pura Batukaru.

Mengobrak-abrik pura ini dilakukan oleh pengikutnya dengan senjata lengkap serta memindahkan palinggih dari tempat semula. Entah dari mana datangnya tawon secara ajaib menyerbu dan mengerumuni I Gusti Ngurah Panji Sakti. Lantaran banyaknya tawon tersebut sebesar kepalan tangan satu ekornya. Kontan saja Panji Sakti lari terbirit-birit tanpa berani menoleh ke belakang. Rupanya Tawon ajaib itu utusan Hyang Widhi yang menghukum Panji Sakti yang tidak tahu diri merusak parahyangan yang amat disucikan umat.

Dengan tawon sebesar kepalan tangan satu ekor yang menjajal Panji Sakti dan pengikutnya, maka kapoklah Panji Sakti dan akhirnya kembali lagi ke Buleleng dengan tangan hampa, untung saja Panji Sakti baru dikerjain saja tidak sampai nyawanya melayang. Karena Panji Sakti sangat berani semua palinggih yang ada Batukaru dirusak dan dipindahkan begitu saja tanpa alasan. Sehingga yang berstana di Pura Batukaru menjadi murka dan menjajal Panji Sakti hanya dengan tawon yang menggerogoti tubuhnya.

Anak Belum Maketus, Pantang ke Pura
Bila pura dikaitkan dengan keberadaan agama Hindu adalah sebuah tempat mendidik umatnya menjadi manusia yang berkualitas. Tapi di Pura Batukaru justru memberikan pantangan kepada anak yang mau ke pura.

Ada apa di balik misteri itu, mengapa anak yang perlu pendidikan tidak dibolehkan diajak ke pura? Pertanyaan tersebut sangat wajar bagi siapa saja, pasalnya ketentuan itu tidak sepantasnya timbul di era yang sudah menerapkan dunia globalisasi dunia rasio ini. Tapi antara benar atau tidak sebuah misteri tidak cukup dikaji dengan logika semata,
walaupun kita diajak ke dunia globalisasai yang serba modern. Setidak-tidaknya ada suatu bukti secara niskala telahmemberikan hukuman bagi yang berani melanggarnya. Pernyatan tersebut dikatakan Jro Mangku I Gede Teken (57 th) ketika ditemui di pesramannya. Memang tiap-tiap pura atau Parahyangan mempunyai keunikan tersendiri, diyakini atau
tidak ini merupakan urusan niskala.

Dikatakan Jro Mangku Gede Teken, masalah-masalah yang menyangkut niskala memang sulit diajak ke alam logika.
Niat kita mendobrak bila bertentangan dengan hati nurani, eh, ternyata kita yang bisa kena pukul secara gaib, jelasnya.
Melihat dari sejarahnya mengapa anak yang belum maketus tidak dibolehkan diajak ke pura Jro Mangku pun tidak berani mengatakan dengan pasti. Mengapa hal itu bisa terjadi.

Bisa jadi zaman dulu sebelum ada kemajuan transportasi pamedek pergi ke pura dengan jalan kaki menempuh jarak yang sangat jauh. Belum lagi ada hutan belantara yang banyak binatang buasnya seperti Singa, Ular, Macan yang sewaktu-waktu bisa memangsanya. Lebih rasional lagi, ketika ada orang sembahyang dengan khusuk tiba-tiba saja diriuhkan dengan tangisan anak yang tentu saja akan membuyarkan konsentrasi orang sembahyang. Tak pelak lagi,
sering anak-anak yang diajak ke pura pada akhirnya akan merengek-rengek minta susu sehingga membuat ibunya membuka gunung kembarnya dihadapan orang banyak, tentunya kurang sedap dipandang orang banyak.

"Logika itu masuk akal juga kalau dikaji dari sisi negatifnya tanpa kita mau tahu apa yang akan terjadi bila anak terus-terusan tidak boleh masuk pura yang penuh dengan nilai kesucian," Jro Mangku menjelaskan. Ngomong masalah sekala
kita gampang saja, tapi bagaimana kita bicara dengan dunia niskala juga sering terjadi secara misteri. Larangan mengajak anak ke Pura Batukaru tidak semuanya yang bisa kena kesisipan niskala.

Tapi sudah banyak secara niskala anak setelah diajak ke pura sampai di rumah sakit tanpa sebab. Setelah diajak ke pura dan diberikan tirta akhirnya sembuh seketika. "Inilah yang mengherankan diri tiang mengapa masih percaya dengan misteri mengajak anak yang belum maketus tidak dibolehkan," terangnya lagi.
Dilihat dari sisi pendidikan anak-anak secara dini dalam bidang agama, jelas sudah tidak zamannya lagi dan tidak dibenarkan melarang anak untuk pergi ke pura. Karena sang anak perlu mendapatkan pendidikan agama secara nyata dan benar sejak dini. Dan pelarangan ini sudah mendapat sorotan tajam dari umat yang tidak tahu seluk beluk berdirinya pura ini. Tentu saja sorotan ini secara logika masuk akal, dan sangat wajar dirombak. Tapi cara merombaknya, kata Gede Teken yang mawinten tahun 1999 mulai dari mana, ini yang sulit, karena sudah merupakan kepercayaan dan dresta parahyangan masing-masing.

Pihak panitia melarangnya tentu bukan berdasarkan alasan, karena dikhawatirkan mengajak anak yang belum maketus akan menemui hal-hal yang tidak diinginkan, sehingga orang tua yang terlanjur mengajak anak yang belum maketus hanya bisa menikmati pergi ke pura dan akhirnya diam di wantilan dengan tidak mengerti apa sebenarnya yang terjadi.

Jro Mangku I Gede Teken, Ulian Pangandika
Ketika dihubungi di sela-sela kesibukannya, Jro Mangku I Gede Teken enggan diajak bicara masalah ngayah. Ada apa?
Terus terang Jro Mangku Gede Teken menyatakan, dihadapan Ida Bathara secara jasmani belum siap ngayah.
Alasannya dirinya masih ingin gradag-grudug dan sebelumnya tidak begitu sering pergi ke pura. Lebih fatal lagi I Gede Teken mengaku anak belog dan bahasa Bali pun tidak bisa. Tapi karena tutunan Ida Bathara yang malingga di Pura Batukaru dirinya tidak kuasa menolaknya. Akhirnya tahun 1999 dirinya diwinten dalam usia 55 tahun dengan istrinya yang masih muda. Sebelumnya banyak masalah yang muncul saat mau diwinten, tapi walaupun terjadi kesalah-pahaman akhirnya berdasarkan kehendak Bathara masalah menjadi reda dengan sendirinya.

Tiang pun secara pribadi dan sekala tidak ada ambisi menjadi seorang pemangku, apalagi sudah merasa diri belog, tidak tahu agama, tuturnya dengan terus terang. Kini Jro Mangku I Gede Teken kelahiran Wangaya Gede, Penebel, Tabanan mengaku merasa tenang dan berserah diri kepada Hyang Widhi. Walaupun pada awalnya sebagai pemangku
dirasakan sangat asing dan apa yang harus dilakukan nanti setelah mawinten.

Dalam pawintenan I Gede Teken memang agak lain, pasalnya tidak perlu napak Ida Pedanda seperti pawintenan pemangku lainnya. Pabersihan cukup dengan tirta yang ada di Pura Luhur Batukaru. Ditanya perasaan saat pawintenan, dengan polos I Gede Teken mengatakan, Tiang pasrah berserah diri dengan tangan kosong, tidak tahu apa-apa, dan secara manusa matah sudah tidak mau ngayah, tapi atas pangandika tiang mengharuskan mau menjadi pemang, tuturnya.
Sekarang setiap piodalan yang jatuh pada Weraspati, Umanis, Dungulan setiap 210 hari merupakan puncak ngayah dan itu pun sudah dibantu dengan banyak pembantu dari pemangku yang ada di sekitar Pura Batukaru. Awalnya piodalan berlangsung satu hari, karena membludaknya umat yang pedek tangkil, akhirnya diperpanjang sampai Redite, Wage, Kuningan dan akhirnya nyineb pada hari Seninnya sebelum matahari terbit disebut dengan mupuk kembang.

2 komentar:

  1. suksma' sampun menyajikan ulasan yg cukup buat saya bisa tau arti dan makna dari pura batukaru.yg saya sendiri jg panjak dari pekadelan pura luhur Batukaru''


    (kadek suaba yana)
    Tengkudak /27/7/2012

    BalasHapus
  2. kalo ibu yg masih menyusui bolehakah pergi ke pura?

    BalasHapus