Jumat, 25 Februari 2011

Pura Luhur Kubontingguh, Dukuh, Penebel, Tabanan

Info By: Agus Sukma


Genah ‘Penglipur Lara’ Sungkan Inguh
Asal mula areal keberadaan pura yang disebut Banjar Bun berubah menjadi Pura Kubontingguh karena kedatangan seorang petapa dan iringannya yang melakukan tapa semadhi di saat dilanda inguh (sungkan kayun). Namun di tempat inilah beliau mendapat pencerahan, hingga kini jejak beliau diikuti oleh umat, memohon mukjizat pencerahan bagi yang merasa inguh.
Menilik keberadaan pura di Bali, ternyata masih banyak pura Dang Kahyangan yang belum seluruhnya diketahui oleh umat. Memasuki Banjar Dukuh, Penebel, Tabanan terlihat sebuah pura dengan areal parkir cukup luas berlatarkan sawah, tak lain merupakan Dang Kahyangan Pura Luhur Kubontingguh.
Melihat perjalanan sejarah pura, awalnya  keberadaan Pura tidak banyak diketahui oleh umat karena lokasi pura saat itu masih bet (berupa alas) sehingga jarang dikunjungi umat yang jumlahnya juga masih sedikit.
Sejak zaman kerajaan pura ini telah ada namun bangunan pura masih berupa gegumuk. Jumlah palinggih yang ada juga tak sebanyak saat ini, hanya tiga buah tak lain merupakan palinggih Gedong Dalem, Ratu Nyoman Sakti dan Ida Dukuh Sakti. Termasuk daerah keberadaan pura belum disebut Dukuh melainkan Banjar Bun karena saat itu areal pura banyak ditumbuhi bun.
“Awalnya daerah pura saat itu disebut Banjar Bun karena masih berupa alas yang ditumbuhi bun. Setelah ada orang yang datang tak lain merupakan seorang Arya dan  diiring oleh abdinya seorang pasek, melakukan tapa semadhi di tempat ini, barulah diganti nama Pura menjadi Kubontingguh. Kubontinggih berasal dari kata Kubon yang artinya rumah atau tempat tinggal dan tingguh merupakan inguh atau sungkan kayun,” papar Jro Mangku Pan Sri Dana. 


Saat itu kedatangan sang petapa dan iringannya karena merasa inguh (sungkan kayun). Sehingga disebut Pura Luhur Kubontingguh karena merupakan tempat yang dituju saat merasa inguh (sungkan kayun). Mujizat diperoleh ketika bertapa di pura ini, rasa inguh hilang berganti dengan kebahagiaan, hingga saat ini setiap orang yang merasa inguh (sungkankayun) banyak yang memohon di pura ini untuk diberikan jalan keluar sehingga terbebas dari rasa inguh tersebut. Setiap orang yang dilanda kesedihan hingga kini selalu nunas ica di pura ini.
Sejak saat itu perelahan pura mengalami perkembangan, umat sedharma yang lain mulai berdatangan, termasuk bangunan pura mengalami perkembangan. Untuk mengenang pertapaan yang dilakukan, dalam areal pura berdampingan dengan palinggih yang telah ada, dibangun palinggih kawitan Arya dan palinggih kawitan Pasek.
Ida Sasuhunan memang sangat welas asih kepada seluruh umat yang ingat dan menghaturkan bhakti ke pura ini. Setiap permohonan umat sebagian besar selalu dikabulkan asalkan datang dengan ketulusan hati serta dengan keyakinan penuh pada Ida Sasuhunan.
Perkembangan pura semakin menunjukkan taksunya, kehadiran umat kian banyak karena merasakan berkah yang diberikan oleh Ida Sasuhunan. Tidak merujuk pada soroh tertentu, menurut Jro Mangku, sang Catur Warna bisa datang ke pura ini. Demikianlah yang telah terjadi selama ini, tidak terkecuali sehingga Pura Kubontingguh berkembang menjadi Dang Kahyangan karena disungsung oleh seluruh golongan sang Catur Warna.
  • Parindikan Pura :
  • Nama : Dang Kahyangan Pura Luhur Kubontingguh
  • Alamat : Banjar Dukuh, Penebel,Tabanan
  • Pemangku : Jro Mangku Made Candra (Pan Sri Dana) dan Jro Mangku Istri Wayan Nambrig
  • Sejarah Pura : Awalnya berupa gegumuk, setelah kedatangan seorang petapa dan seorang pengiringnya, nama pura disebut Kubontingguh karena beliau datang ke pura karena inguh (sungkan kayun)
  • Pujawali : Budha Umanis, Tambir
  • Mandala Pura : Tri Mandala (Nista, Madya, Utama)
  • Rencangan : Macan, Ular
  • Kendaraan Beliau : Garuda
  • Pangemong Pura : Banjar Dukuh, Penebel
  • Penyungsung Pura : Hampir masyarakat seluruh Bali
Untuk Berita Selengkapnya Baca Tabloid Bali Aga Edisi 52  tahun 2009

Janganlah Sesumbar Pada Leak Bali

Terlihat Beberapa orang yang menantang historical mystery Bali yaitu Leak . Marilah dari sekarang melalui peristiwa ini kita belajar menghargai Esensi dan Persepsi orang lain agar kita selalu merasa aman dan tidak mempunyai permasalahan. Suksma




By: Agus Sukma

Kamis, 24 Februari 2011

Mitos Penguasa Pantai Selatan Yogyakarta yakni Mitos Nyi Roro Kidul

Info By: Agus Sukma





 Laut Selatan - Yogyakarta
Cerita tentang Nyi Roro Kidul ini sangat terkenal. Bukan hanya dikalangan penduduk Yogyakarta dan Surakarta, melainkan di seluruh Pulau Jawa. Baik di Jawa Tengah, Jawa Barat dan Jawa Timur. Di daerah Yogyakarta kisah Nyi Roro Kidul selalu dihubungkan dengan kisah para Raja Mataram. Sedangkan di Jawa Timur khususnya di Malang Selatan tepatnya di Pantai Ngliyep, Nyi Roro Kidul dipanggil dengan sebutan Kanjeng Ratu Kidul. Di Pantai Ngliyep juga diadakan upacara Labuhan yaitu persembahan para pemuja Nyi Roro Kidul yang menyakini bahwa kekayaan yang mereka dapatkan adalah atas bantuan Nyi Roro Kidul dan anak buahnya.

Konon, Nyi Roro Kidul adalah seorang ratu yang cantik bagai bidadari, kecantikannya tak pernah pudar di sepanjang zaman. Di dasar Laut Selatan, yakni lautan yang dulu disebut Samudra Hindia - sebelah selatan pulau Jawa, ia bertahta pada sebuah kerajaan makhluk halus yang sangat besar dan indah.

Siapakah Ratu Kidul itu? Konon, menurut yang empunya cerita, pada mulanya adalah seorang wanita, yang berparas elok, Kadita namanya. Karena kecantikannya, ia sering disebut Dewi Srengenge, yang artinya Matahari Jelita. Kadita adalah putri Raja Munding Wangi. Walaupun Kadita sangat elok wajahnya, Raja tetap berduka karena tidak mempunyai putra mahkota yang dapat disiapkan. Baru setelah Raja memperistrikan Dewi Mutiara lahir seorang anak lelaki. Akan tetapi, begitu mendapatkan perhatian lebih, Dewi Mutiara mulai mengajukan tuntutan-tuntutan, antara lain, memastikan anaknya lelaki akan menggantikan tahta dan Dewi Kadita harus diusir dari istana. Permintaan pertama diluluskan, tetapi untuk mengusir Kadita, Raja Munding Wangi tidak bersedia.

Ini keterlaluan,” sabdanya. “Aku tidak bersedia meluluskan permintaanmu yang keji itu,” sambungnya. Mendengar jawaban demikian, Dewi Mutiara malahan tersenyum sangat manis, sehingga kemarahan Raja, perlahan-lahan hilang. Tetapi, dalam hati istri kedua itu dendam membara.

Hari esoknya, pagi-pagi sekali, Mutiara pengutus inang mengasuh memanggil seorang tukang sihir, si Jahil namanya. Kepadanya diperintahkan, agar kepada Dewi Kadita dikirimkan guna-guna.

Bikin tubuhnya berkudis dan berkurap,” perintahnya. “Kalau berhasil, besar hadiah untuk kamu!” sambungnya. Si Jahil menyanggupinya. Malam harinya, tatkala Kadita sedang lelap, masuklah angin semilir ke dalam kamarnya. Angin itu berbau busuk, mirip bau bangkai. Tatkala Kadita terbangun, ia menjerit. Seluruh tubuhnya penuh dengan kudis, bernanah dan sangat berbau tidak enak.

Tatkala Raja Munding Wangi mendengar berita ini pada pagi harinya, sangat sedihlah hatinya. Dalam hati tahu bahwa yang diderita Kadita bukan penyakit biasa, tetapi guna-guna. Raja juga sudah menduga, sangat mungkin Mutiara yang merencanakannya. Hanya saja. Bagaimana membuktikannya. Dalam keadaan pening, Raja harus segera memutuskan.

Hendak diapakan Kadita. Atas desakan patih, putri yang semula sangat cantik itu mesti dibuang jauh agar tidak menjadikan aib.

Maka berangkatlah Kadita seorang diri, bagaikan pengemis yang diusir dari rumah orang kaya. Hatinya remuk redam; air matanya berlinangan. Namun ia tetap percaya, bahwa Sang Maha Pencipta tidak akan membiarkan mahluk ciptaanNya dianiaya sesamanya. Campur tanganNya pasti akan tiba. Untuk itu, seperti sudah diajarkan neneknya almarhum, bahwa ia tidak boleh mendendam dan membenci orang yang membencinya.

Siang dan malam ia berjalan, dan sudah tujuh hari tujuh malam waktu ditempuhnya, hingga akhirnya ia tiba di pantai Laut Selatan. Kemudian berdiri memandang luasnya lautan, ia bagaikan mendengar suara memanggil agar ia menceburkan diri ke dalam laut. Tatkala ia mengikuti panggilan itu, begitu tersentuh air, tubuhnya pulih kembali. Jadilah ia wanita cantik seperti sediakala. Tak hanya itu, ia segera menguasai seluruh lautan dan isinya dan mendirikan kerajaan yang megah, kokoh, indah dan berwibawa. Dialah kini yang disebut Ratu Laut Selatan.

Cerita tentang Nyi Roro Kidul ini banyak versinya. Ada versi Jawa Barat, Jawa Timur dan Yogyakarta.

Konon Nyi Roro Kidul itu tak lain adalah seorang jin yang mempunyai kekuatan dahsyat. Hingga kini masih ada saja orang yang mencari kekayaan dengan jalan pintas yaitu dengan menyembah Nyi Roro Kidul. Mereka dapat kekayaan berlimpah tetapi harus mengorbankan keluarga dan bahkan akan mati sebelum waktunya, jiwa raga mereka akan dijadikan budak bagi kejayaan Keraton Laut Selatan.

Cerita ini dapat digolongkan sebagai mitos, sebab mengaruhnya sangat mendalam, mendasr dan jauh bagi alam pikiran tradisional di Yogyakarta.

PURA KAHYANGAN JAGAT DALEM PURWA kUBONTINGGUH

Info By: Agus Sukma




PURA KAHYANGAN JAGAT DALEM PURWA KUBONTINGGUH

A.    Pendahuluan.

Sesuai surat keterangan Nomor 243/Kahy.1/PHD/1996 tanggal 13 Mei 1986 dari Parisada HinduDharma Tabanan, bahwa status Pura adalah Dang Kahyangan dan (teritorial) ini di fungsikan sebagai Tri Kahyangan Dalem Desa Adat Kubontingguh, Desa Denbantas, Kecamatan Tabanan-Kabupaten Tabanan.
            Dengan adanya pelurusan nama Pura-pura yang dulu Kahyangan Jagat dinamai Dang Kahyangan, sekarang dengan adanya pelurusan dari Propinsi Bali yang berhak bernama Dang Kahyangan adalah Pura-pura yang ada lintasan /pemargin Dang Hyang Nirartha, sedangkan Pura Dalem Purwa Kubontingguh bersetatus Dang Kahyangan, akibat pelurusan itu untuk tidak rancu, maka sejak hari Rabu tanggal 30 Juni 1999 saat Karya Pemelaspas Agung, Ngenteg Linggih saha tawur Agung, Pura Dalem Kahyangan Kubontingguh sekarang kembali bernama “ KAHYANGAN JAGAT DALEM PURWA KUBONTINGGUH”.

B.     Nama Pura.

Pura ini oleh masyarakat Pengempon dikenal dengan sebutan “PURA KAHYANGAN JAGAT DALEM PURWA KUBONTINGGUH”. Penamaan tersebut terkait erat dengan status dan fungsi Pura yang sifatnya laindari pura Dalem biasanya yang dikenal di kalangan umat sedharma. Kata Dalem adalah menunjukkan manifestasi Tuhan / Ida Sanghyang Widhi dalam wujud saktinya Siwa yakni yakni “Bhatari Durga” Pelambang Peleburan. Sedangkan kata Purwa diambil dari pengertian asal mula(wit = bahasa bali),berarti asal mula Pura Dalem dalam segala kebesaran prebhawanya. Kata Purwa juga menunjukkan Pura dalam bentuk umum sebagai Kahyangan Jagat Tabanan dengan sistem tata Pemerintahan berdaulatnya Raja Diraja sebelum Negara Indonesia berbentuk Republik. Lebih jauh pengertian asal mula dimaksud adalah mulainya (kawitnya) penguasa Kerajaan mendapatkan kesempurnaan spiritual membasmi malapetaka memohon kehadapan Bhatari Durga dengan sarana mata air keramat disebut Taman Beji sebagai tempat memohon pengeleburan dasa mala. Sebagai asal mulakeberhasilan Raja zaman dahulu tersebut menamakan Pura dengan istilah Purwa. Kata Kubontingguh adalah menunjukkan lokasi dan pengempon Pura lebih jelasnya berikut disertakan Kutipan Purana sebagai berikut : 

……………. Mangke wuwusen Pura Kawitan keturunan Arya Kenceng ingaranan Kahyangan Jagat Dalem Purwa Kubontingguh, Desa Buahan, Wawidangan panagara Singhasana Tabanan. Makadi pengancengKahyangan Puri Agung Tabanan. Maka pengelingsir Pahryangan Jro Agung Kukuh, Desa Denbantas, wewidangan jagat Tabanan, minakadi Pemangku Gede warga Pasek, abhiseka Jro Mangku Gede saking Banjar Bakisan, Panagara Tabanan, Griya Pasekan mwang Griya Majapahit ring Tuakilang Desa Denbantas, Wewengkon jagat Tabanan.

Artinya :

Sekarang keberadaan Pura Kawitan keturunan Arya Kenceng bernama Kahyangan Jagat Dalem Purwa Kubontingguh, Desa Buahan, Wilayah Kerajaan Tabanan. Sebagai Penganceng Kahyangan Puri Agung Tabanan. Sebagai sesepuh/Panasehat Parhyangan Jro Agung Kukuh, Desa Denbantas, Wilayah Tabanan. Sebagai Pemangku Gede Warga Pasek, bergelar Jero Mangku Gede dari Banjar BakisanWilayah Tabanan, Demikian juga sebagaiBhagawanta Puri Singasana Tabanan, Griya Pasekan mwang Griya Majapahit di Tuakilang Desa Denbantas Wilayah Tabanan.

C.     Lokasi Pura.

Pura Dalem Purwa Kubontingguh berlokasi di Desa Adat Kubontingguh, Desa Denbantas, Kecamatan Tabanan – Kabupaten Tabanan. Lokasi tersebut di pinggiran kota Tabanan, di lereng jurang/kali/sungai. Jalan menuju lokasi tersebut dapat ditempuh dengan berbagai sarana seperti : sepeda, sepeda motor, mobil roda empat, Truk dan Bus. Mencapai lokasi Pura dapat ditempuh melalui dua jalur yaitu :
  1. Dari jantung kota Tabanan tepatnya diperempatan kantor Bupati Tabanan menuju ke arah utara hingga kebendesaan Denbantas. Dusun Bakisan belok kiri menuju arah barat, kemudian turun menuju lembah sungai hingga sampai dilokasi Pura.
  2. Selain itu juga dapat ditempuh melalui dusun Tuakilang ke utara sampai di terminal Tuakilang belok ke kanan menuju dusun Kubontingguh sampai di lokasi Pura.
Jarak dari kota Tabanan ke lokasi Pura dari dua arah yang dimaksud adalah hampir sama + 2,5 km. Jarak dari kota Provinsi Bali ( Denpasar ) 24,5 km.

Batas-batas lokasi Pura adalah :
-          Disebelah utara jalan raya Adat Kubontingguh
-          Disebelah timur dibatasi oleh kali atu sungai
-          Disebelah selatan Persawahan subak uma tegal
-          Disebelah barat tegalan pribadi milik masyarakat setempat.

Secara Geografis Daerah ini merupakan dataran dengan ketinggian antara 100 – 150 meter di atas permukaan air laut. Tanah di Daerah ini merupakan endapan Tufa Beratan Purba. Dilihat dari vegetasi yang berkembang umumnya berupa tanaman padi, kopi, cengkeh, pisang dan beberapa jenis tanaman berumur panjang seperti enau, bambu, nangka dan kelapa. Secara Astronomislokasi ini terletak pada koordinat 115 derajat 19’15”BT. 8 derajat 9’14”LS.

D.    Sejarah / Penjelasan singkat asal usul Pura.

1.      Babad Arya Tabanan.

Secara tertulis dalam babad Arya Tabanan koleksi Gedong Kirtya Singaraja tertulis tentang Pura Dalem Purwa Kubontingguh, disebutkan bahwa salah seorang keturunan Arya Kenceng yang berstana di Pucangan yang bergelarSri-Magadanata, lazim disebut Arya Ngurah Tabanan melakukan kesalahan membelai rambut Putra Mahkota Dalem. Akibat kesalahan ini ia di utus ke Majapahit untuk mengetahui keadaan di sana karena huru hara. Lebih jelasnya berikut disajikan kutipan babad Arya Ngurah Tabanan.
“Kunang Sri Magadanatha wyadin Arya Ngurah Tabanan, inutus uminter maring Majapahit, amretyaksoken Ratu wilwatikta, tan wasiteng awan mwang pangiringnya prapta maring Wilwatikta, tistis samun kang negara, aro-ara karep irang para bahudandakatekaning tani-tani, apan kinasuking gama selam, dadi malwi sira mantuking Bali”.
Artinya :
Diceritakan Raja Sri Magadanatha atau Arya Ngurah Tabanan, di utus oleh Ida Dalem berangkat ke Majapahit, menyelidiki keadaan Raja Majapahit, tak terceritakan dalam perjalanan bersama anggota tibalah di Majapahit, Negara dalam keadaan sepi, terkejut semua para Bahudanda demikian juga masyarakat kebanyakan, sebab dimasuki agama islam, karena itu kembali beliau ke Bali.

“Satibeng irang Bali, ari maring Puri Pucangan stri kambil de Dalem Gelgel tinarimaken maring kiyai Azak ring Kapal, katereh de Arya Kresna Kepakisan, kesatriyakula wetning kadiri”.
Artinya :
Setibanya di Bali, Adik Perempuan di Puri Pucangan diambil oleh Ida Dalem Gelgel dikawinkan dengan Kiyai Azak di Kapal, keturunan Arya Kresna Kepakisan, warga kesatrya dari Kediri.

“Ri telas Sri Magadanatha umarek Dalem, kawruh yan sang ari stri inarimaken ring Kyai Azak, mangen angen sira ri bendun ira Dalem, wekasan manastapa ri anten ira, dadi gelis sira aserah kedatuan ekaning pangerahningNegara ring Sang Putra pamayun apatra arya Ngurah Langwang, teher tinengeran Arya Ngurah Tabanan”.
Artinya :
Sesudah Sri Magadanatha menghadap Ida Dalem tahulah beliau bahwa adik perempuannya dikawinkan dengan Kyai Azak. Kecewa beliau dan marah terhadap Ida Dalem. Dengan demikian berinisiatif beliau akan bersemadhi sekeluarga, sehingga segera beliau menyerahkan tapuk Pemerintahan, demikian juga administrasi Negara kepada Putra Pertama yang bernama Arya Ngurah Langwang juga berpredikat Arya Ngurah Tabanan.

“Kunang Sri Magadanatha mahyun lumakwa widon, saha agawya kuwu ring arah meriti saking stana Pucangan, ingarana Kubontingguh, apan maka grahan sang sedeng sungkawa, wekasan sira analap stri, anak ira de Bendesa Pucangan, maka prenah anak amisan saking wadu de sang akuwu maring Kubontingguh”.
Artinya:
Diceritakan Sri Magadanatha berkeinginan meninggalkan Kerajaan serta membangun Kubu disebelah barat daya dari istana Pucangan, bernama Kubontingguh, sebab itu merupakan pondok/rumah orang sedang ditimpa kesedihan. Selanjutnya beliau mengambil istri dari Bendesa Pucangan, dipakai misan dari istri yang berkubu di Kubontingguh.

“Dadi wetu Putra kakung sakung sawiji ingaranan I Gusti Ketut Bendesa, I Gusti Ketut Pucangan tengeran ira waneh. Wekasan ri wus I Gusti Ketut Bendesa anandang wastra akekeris, laju sinerah aken de sang yayah ring sang kaka Arya Ngurah Tabanan tur jenek papareng ungguhin Raja Buahan, pada amukti suka wibhawa”.
Artinya :
Lahirlah putra laki-laki diberi nama I Gusti Ketut Bendesa dengan nama sebutan I Gusti Ketut Pucangan. Lama kelamaan sesudah I Gusti Ketut Bendesa Remaja/Dewasa, diserahkan ayahnya kepada kakaknya Arya Ngurah Tabanan dan bertetap tinggal di istana Kerajaan Buahan, serta menemui kebahagiaan hidup dan kewibawaan.

            Keterangan yang serupa juga di dapat dalam babad Kutawaringin dan usana jawa. Dalam Usana Jawa Tokoh Magadanatha disebut dengan nama lain yakni : Arya Yasan.
2.      Pawuwus.

Pada hari Rabu Kliwon Pagerwesi tanggal 29 Desember 2004 ( tengah malam ) Bendesa Pura Kahyangan Jagat Dalem Purwa Kubontingguh yang juga menjabat Bendesa Adat Kubontingguh : I Gusti Agung Nyoman Mastika, dari Jero Kukuh Banjar Denbantas Desa Denbantas Kecamatan Tabanan – Kabupaten Tabanan, bersama dengan Semua Pengurus Pura, Kelihan Adat/Pengurus Adat dan Ketua/Pengelingsir suang-suang pemerajan gede se Desa Adat Kubontingguh  melakukan uparacara untuk bertanya langsung kepada Ida Betara yang berstana di Pura Kahyangan Jagat Dalem Purwa Kubontingguh.
            Pada waktu Rsi Markandia dari India menyebarkan Agama Hindu menuju Jawadwipa dan selanjutnya ke Pulau Bali menuju Wangayagede yang akhirnya merabas hutan belantara sampai di suatu tempat yang selanjutnya membuat gubuk diatas tonggak-tonggak kayu ( bun-bun besar ) sebagai sandaran/peningguk yang sudah mendapat kekuatan dari sang Banaspati. Disuatu hari gubuk tersebut mengeluarkan sinar ( metu teja ) yang merupakan pemberian kekuatan dari Sanghyang Tunggal. Dari Gubuk yang berada diatas tonggak bun sebagai penyangga/peningguk yang sangat tangguh yang akhirnya disebut Kubontingguh sebagai pesraman para Yogi.
Pura Kahyangan Jagat Dalem Purwa Kubontingguh merupakan kawitan umat Hindu karena merupakan kekuatan, sehingga bagi para umat Hindu yang bisa datang sujud bakti di hadapan beliau sudah jelas mendapatkan keselamatan.
Berlama-lama Bali ditaklukan oleh Majapahit pada tahun 1352 atau abad ke 13 sang Subakti Arya Kenceng mendapatkan wahyu kekuatan (kedirgayusan) sehingga beliau bersabda keturunannya mesti sujud di Pura Kahyangan Jagat Dalem Purwa Kubontingguh.

3.      Penelitian Arkeologi.

Laporan penelitian arkeologi Denpasar nomor 362/F9.7/PK/2000 tanggal 15 Nopember 2000. Adanya beberapa temuan baik batu besar yang berada di depan patung Sapi dan ditempatkan di Gedong Pura / Palinggih, ini merupakan salah satu peninggalan pada jaman megalitik/jaman batu.
  
Di Pelinggih Gedong Agung terdapat ukiran cronogram merupakan pembuatan bangunan atau perbaikan pada saat itu terbaca sbb. Badan atau angga bernilai 1, senjata cakra bernilai 5, burung dan hewan bersayap bernilai 6, api atau dewa api bernilai 3 dan dapat dibaca atau angka tahum 1563 atau 1641 Masehi.
======================== Berikut Beberapa Poto PURA==========================